Tuesday, December 30, 2008

@ THE THREE CHANGELESS FACTORS

e-Reformed edisi 085/IV/2007 (30-5-2007)

TIGA FAKTOR YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

(THE THREE CHANGELESS FACTORS)

Francis A. Schaeffer

Setelah Yosua memimpin perang melawan kaum Amalek, “... berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Tuliskanlah semuanya ini dalam sebuah kitab sebagai tanda peringatan” (Keluaran 17:14).  

Sejak saat itu kitab ini menjadi pusat dalam kehidupan bangsa Israel. Berulang kali kitab Taurat (Pentateukh) memberitahu kita bagaimana proses penyusunannya. 
 Sebagai contoh, dalam Bilangan, kita menemukan, “Musa menuliskan perjalanan mereka dari tempat persinggahan ke tempat persinggahan sesuai dengan titah TUHAN” (Bilangan 33:2). 
Seperti halnya Keluaran 17 merujuk secara khusus pada penulisan kitab Keluaran, Bilangan 33 merujuk secara khusus pada penulisan kitab Bilangan.
Di dataran Moab, dalam rentang waktu 40 tahun perjalanan bangsa Israel, penulisan kitab masih terus berlanjut di bawah perintah Allah.  
Ulangan 31 melukiskan perkembangan kitab Taurat, menekankan bahwa Musalah yang menulisnya. 
Tentu saja, salah satu teori kaum liberal menyatakan bahwa Taurat diturun-temurunkan melalui media lisan selama beberapa waktu lamanya sebelum melalui media tulisan. 
Namun, teori ini bertentangan langsung dengan apa yang dinyatakan oleh Taurat itu sendiri, sebab dalam Ulangan 31:9 kita membaca, “Setelah hukum Taurat itu dituliskan Musa, maka diberikannyalah kepada imam-imam bani Lewi”. 
Jadi Musa tidak hanya berkata-kata, ia juga menuliskannya. 
Ia menyampaikan komunikasi verbal yang jelas dari Allah kepada manusia dalam bentuk tulisan dan juga lisan. 
Kita diberitahu mengenai penyusunan dari kitab Keluaran, Bilangan, dan Ulangan. Sesuatu memang telah dituliskan.
Ulangan 31 juga menjelaskan dengan gamblang bahwa apa yang dituliskan bukanlah sebuah kitab suci milik para imam yang dijauhkan dari umat sehingga umat tidak akan dapat mengerti isinya. 
Sebaliknya, dari waktu ke waktu kitab tersebut dimaksudkan untuk dibaca tidak hanya di depan para imam namun juga di hadapan umat awam (baca Ulangan 31:9-13).
Tentu saja umat tidak dapat memiliki sendiri kitab tersebut. 
Hal tersebut baru dimungkinkan setelah penemuan mesin cetak Gutenberg.  
Tapi hal ini tidak berarti bahwa kitab Taurat adalah sebuah kitab luar biasa yang menjadi semacam simbol saja. 
Kitab ini bukanlah seperti tabut perjanjian Allah yang tidak boleh dilihat manusia. 
Tabut Allah dijauhkan dari pandangan umat dan dikerudungi ketika dibawa dalam perjalanan, namun kitab Taurat dikeluarkan secara berkala untuk dibaca. 
Ini adalah sebuah pengingat bahwa kesucian kitab ini tidak dimaksudkan agar ia dijauhkan dari umum. 
Kitab ini penting karena ia berasal dari Allah, namun kitab ini juga diperuntukkan bagi umum, artinya, isinya dimaksudkan untuk dimengerti oleh seluruh umat. 
Umat perlu tahu apa isi kitab yang telah diturunkan Allah melalui Musa tersebut.
Dalam Ulangan 31:19 Musa berbicara mengenai “nyanyian ini”. 
Salah satu teori liberal menyatakan bahwa Taurat diturun-temurunkan dalam bentuk nyanyian dan baru kemudian dituliskan jauh setelah itu, namun kembali kitab Ulangan menyangkali hal ini. 
Walaupun benar bahwa umat diminta untuk mempelajari nyanyian tersebut dan meneruskannya kepada keturunan mereka, tertulis juga “... tuliskanlah nyanyian ini ...”.
Di sini kita melihat suatu struktur yang berurutan: Allah memerintahkan sesuatu untuk ditulis menjadi sebuah kitab dan Musa menuliskannya dalam rentang masa 40 tahun. 
Saat kita sampai pada akhir dari kitab Ulangan, penulisan Musa pun selesai. 
Ketika Musa menyelesaikan kitab Taurat, ia memerintahkan agar kitab tersebut diletakkan di suatu tempat kudus, “... di samping tabut perjanjian TUHAN ...” (Ulangan 31:26). 
Kitab Taurat dimaksudkan untuk dipelihara dan dibaca secara rutin kepada seluruh umat.

Faktor Pertama yang Tidak Pernah Berubah:

FIRMAN ALLAH YANG TERTULIS
Hal ini membawa kita kepada kitab Yosua (baca Yosua 1:1-8).
Ketika umat Israel sedang bersiap memasuki tanah perjanjian, Allah memberi penekanan utama pada kitab Taurat.
Yosua memiliki pewahyuan khusus dari Allah melalui imam: “Ia harus berdiri di depan imam Eleazar, supaya Eleazar menanyakan keputusan Urim bagi dia di hadapan TUHAN” (Bilangan 27:21). 
Kita tidak yakin apa yang dimaksudkan dengan Urim, bagaimana cara berfungsinya atau bagaimana Allah menggunakan itu untuk menyatakan diri-Nya, tapi kita mengetahui bahwa ini adalah salah satu cara-Nya menuntun umat. 
Tapi pewahyuan khusus untuk Yosua ini tidak dimaksudkan untuk menyimpangkan dirinya dari alat tolok ukur dan kontrol ulama: kitab yang tertulis itu. 
Firman Allah yang tertulis dalam kitablah yang menetapkan standarnya. 
Dalam hal ini, Yosua sudah bertindak sebagaimana umat Kristen yang percaya kepada Alkitab bertindak. 
Kadang Allah memimpin kita melalui cara lain, tapi pimpinan tersebut haruslah tetap ada di dalam cakupan perintah-Nya yang nyata dan jelas dalam Kitab Suci.  
Bahkan jika seseorang mempunyai Urim dan Tumim serta tuntunan dari imam, hal ini tidak merubah otoritas dasarnya. Tuntunan ulama semestinya datang dari pewahyuan Allah yang tertulis dan jelas, dari Alkitab.
Jadi kita melihat bahwa kitab yang tertulis menjadi faktor pertama dari tiga faktor yang tidak pernah berubah yang dimiliki Yosua pada saat ia menjalankan kepemimpinannya. 
“Hanya, kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh,” perintah Allah kepadanya, “bertindaklah hati-hati sesuai dengan seluruh hukum yang telah diperintahkan kepadamu oleh hamba-Ku Musa; janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, supaya engkau beruntung, ke manapun engkau pergi. Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung.” 
Yosua telah berjalan bersama Musa (yang muda di sisi yang lebih tua) selama 40 tahun, namun perintah Allah kepadanya bersifat spesifik. Allah tidak berkata, “Cobalah untuk mengingat semua yang Musa katakan dan ikuti itu.” 
Justru Yosua diperintahkan untuk menyelidiki dan mempelajari dengan teratur perintah-perintah Allah yang jelas dan pasti dalam kitab Taurat itu.  
 
Allah secara jelas menekankan 3 hal.
 
1. Kitab tersebut janganlah lupa untuk diperkatakan: perintah untuk memperkatakan.
2. Renungkan siang dan malam. Perenungan adalah kegiatan kognitif yang menggunakan rasio. Hukum Allah bukanlah sesuatu yang direproduksi secara mekanis atau bahkan tidak berarti isinya (untuk diungkapkan sesuai zaman yang ada).
3. Melakukan perintah-perintah ini dalam situasi, ruang dan waktu pada masa itu. Perkatakan, renungkan, dan lakukan! Pengajaran Yesus punya penekanan yang sama pula, “Inilah perkataan-Ku. Lakukan!” Sepanjang hidupnya, Yosua sungguh taat. 
Dari semua faktor yang memberikannya keberhasilan, yang terpenting adalah ketaatannya pada perintah Allah dalam kitab-Nya. 
Sebagai contoh, di gunung Ebal dan Gerizim, Yosua menjalankan perintah Musa dengan baik untuk membacakan hukum Taurat di hadapan seluruh umat (lihat Yosua 8).  
Yosua menjalani hidupnya dengan jalan mempraktikkan Firman Tuhan yang tertulis itu.
Kesetiaan ini terus berlanjut sampai akhir hidupnya. 
Permohonan Yosua bagi bangsanya ketika ia sudah akan meninggal adalah sederhana dan tetap: “Kuatkanlah benar-benar hatimu dalam memelihara dan melakukan segala yang tertulis dalam kitab hukum Musa, supaya kamu jangan menyimpang ke kanan atau ke kiri” (Yosua 23:6). 
Yosua memegang Perintah Allah setiap hari dalam hidupnya, dan sebelum ia meninggal, ia memohon kepada umat yang dipimpinnya untuk melakukan hal yang sama:
“Jalanilah hidupmu di dalam lingkup perintah Allah yang Jelas, yang terdapat dalam kitab Taurat yang telah tertulis itu.”

Perkembangan dan Penerimaan Kanon

Hubungan Yosua dengan kitab Taurat mengajarkan kita sebuah pelajaran penting mengenal hal bagaimana kanon berkembang dan diterima. 
Yosua mengenal Musa, penulis kitab Taurat, secara pribadi. 
Yosua mengetahui kekuatan dan kelemahan Musa sebagai manusia, ia tahu Musa adalah seorang berdosa, melakukan juga kesalahan, seorang manusia biasa. 
 Walaupun demikian, segera setelah kematian Musa, Yosua menerima Kitab Taurat lebih dari sekadar tulisan seorang Musa. 
Ia menerimanya sebagai tulisan Allah. 
Tidak dibutuhkan waktu dua atau tiga ratus tahun bagi sebuah kitab untuk menjadi bernilai ilahi. 
Yosua menerimanya sebagai kanon, dan kanon itu adalah Firman Allah. 
Pandangan alkitabiah akan perkembangan dan penerimaan kanon adalah sesederhana ini: Ketika kitab itu diberikan, umat Allah langsung mengerti. 
Seketika itu juga kitab tersebut mempunyai otoritas.
Inilah alasan mengapa saya berpikir bahwa kitab Yosua sangatlah penting. 
Ia mengambil posisi sebagai jembatan antara masa penyusunan kitab Taurat dengan masa setelahnya dan menyediakan kunci untuk memahami beberapa hubungan penting di antara berbagai bagian dalam keseluruhan Kitab Suci.
Fakta bahwa generasi Yosua menerima otoritas hukum Taurat memiliki arti yang teramat penting. 
Bagi umat Israel, sifat kanon ini adalah praktis, lebih dari sekadar akademis, lebih dari sekedar teologis.  
Yosua dan umatnya memiliki otoritas yang berkesinambungan sepanjang perjalanan mereka dalam sejarah. 
Kitab tersebut mewarnai lingkungan dan mentalitas mereka.
Pada masa kepemimpinan Musa, mereka mempunyai otoritas dari Musa dan dari hukum yang diperintahkan Allah untuk dituliskan Musa. 
Ketika suatu hari Musa meninggal dan mereka harus masuk ke dalam tanah perjanjian, mereka tidak ditinggalkan tanpa tuntunan. 
Otoritas atas mereka tidak terputus oleh karena sifat berkesinambungan yang dimiliki oleh kitab Taurat. 
Dalam menghadapi permasalahan praktis hidup sehari-hari, mereka memiliki standar penilaian yang obyektif dan tetap.
Satu contoh masalah praktis itu adalah, bagaimana caranya menilai suatu nubuatan. 
Musa menuliskan bahwa jika seseorang menyampaikan nubuatan dan hal yang diucapkannya tidak terjadi, nubuat itu bukan berasal dari Allah (Ulangan 18:22). 
Tapi bagaimana jika ada satu masalah yang lebih pelik terjadi: 
Ketika suatu nubuat yang aneh sungguh-sungguh menjadi kenyataan? 
Dari manakah asal nubuatan itu? Bagaimana cara mengetahuinya? 
Musa telah memberikan beberapa petunjuknya (baca Ulangan 12:32-13:5).
Perikop dari Ulangan ini menyingkapkan standar yang diberikan Allah sendiri: Nilailah seorang nabi yang nubuatannya digenapi dengan cara membandingkan apa yang ia katakan dengan standar obyektif, Firman Tuhan yang tertulis. 
Penilaian akhir tidak didasarkan atas terjadi atau tidaknya nubuat tersebut. Penilaian akhir ada pada apakah pengajaran seorang nabi selaras dengan pengajaran dari Firman Tuhan yang tertulis.
Umat Allah mempunyai cara membuat penilaian obyektif yang tidak hanya berdasar pada pengalaman semata namun berdasar pada kitab Taurat, faktor penting pertama yang tidak pernah berubah. 
Setiap manusia, dengan rasionya, dapat mempertimbangkan apa yang dituliskan oleh Musa. 
Dalam masa transisi dari sang pemberi hukum, Musa, kepada masa paska penyusunan hukum Taurat, bangsa Israel memiliki standar dan petunjuk yang sangat praktis.
Dalam kitab Yosua, kita menyaksikan kanon tersebut semakin berkembang. Yosua 5:1 menuliskan ‘sampai kami dapat menyeberang‘. 
Pribadi yang menuliskan narasi ini berada di sana! (Ini mengingatkan kita pada istilah ‘kami‘ dalam Kisah Para Rasul) Yosua 5:6 mencatat “negeri yang dijanjikan TUHAN dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka akan memberikannya kepada kita, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.” Sekali lagi, penulis hadir dalam peristiwa tersebut. 
Ketika Kitab Taurat selesai disusun, kitab Yosua sebagai kelanjutan kanon, meneruskannya: dan ini dicatat langsung oleh pihak pertama.
Yosua 24:26 memberitahu kita siapakah pihak pertama ini: “Yosua menuliskan semuanya itu dalam kitab hukum Allah”.  
Bagaimana caranya kanon ini berkembang? 
Musa menulis kemudian ia mati. Yosua meneruskan penulisan tersebut dan kanon itu pun terus berkembang. 
Secara langsung, Aikitab dengan jelas selalu menerima Yosua sebagai tokoh sejarah. 
Nehemia 8:17 menggambarkan hal ini ketika disebutkan bahwa orang Israel tidak pernah lagi merayakan Hari Raya Pondok Daun sejak zaman Yosua bin Nun.
Saat Yosua berhadapan dengan tugasnya, ia memiliki faktor penting pertama yang tidak pernah berubah: Kitab Firman Allah yang tertulis. 
Kitab ini memberikan kesinambungan otoritas dan kitab itu sendiri sedang terus dan akan terus berkembang. 
Kitab ini berkembang dan tidak mandek. 
Yosua, saat memimpin umatnya, mempunyai suatu standar obyektif untuk menilai segala sesuatu, dan standar itu amatlah jelas sehingga Allah menghendaki kitab ini dimengerti oleh umat awam saat isi kitab itu dibacakan secara berkala kepada mereka.

Faktor Kedua yang Tidak Pernah Berubah:

KUASA ALLAH

Saat bangsa Israel bersiap diri untuk memasuki tanah perjanjian, mereka meninggalkan Sitim, daerah sebelah timur sungai Yordan di mana mereka sementara waktu menetap, dan berpindah ke tepian timur sungai Yordan. Tiga hari kemudian terjadilah sebuah peristiwa yang menyingkapkan faktor kedua yang tidak pernah berubah: kuasa Allah (baca Yosua 3:7-17; 4:18).
Para imam mengangkat tabut perjanjian menuju sungai Yordan, dan selama mereka mencelupkan kaki mereka dalam air, Allah menyibakkan aliran sungai Yordan. 
Bagaimana Allah melakukan hal ini, kita tidak diberitahu. Apakah melalui perintah langsung atau menggunakan cara tertentu, seperti saat angin timur meniup balik laut Teberau, tidaklah penting. 
Yang terpenting adalah bahwa aliran sungai itu berhenti, sekalipun itu masa banjir, dan seluruh bangsa Israel menyeberanginya di atas tanah yang kering. Kemudian para imam keluar dari sungai dan alirannya kembali seperti biasa.
Di sini Allah melakukan hal yang luar biasa, dan teks kita menyatakan dengan jelas akan maksud Allah: “Pada waktu itulah TUHAN membesarkan nama Yosua di mata seluruh orang Israel, sehingga mereka takut kepadanya, seperti mereka takut kepada Musa seumur hidupnya.” (Yosua 4:14). 
Allah menyibakkan sungai bagi Yosua sama seperti yang dikerjakan-Nya bagi Musa 40 tahun sebelumnya. Tanda yang Ia berikan saat keluar dari Mesir kini Ia berikan saat masuk ke dalam tanah perjanjian. 
Tanda akan kuasa Allah yang paling meyakinkan bagi Musa kini beserta dengan Yosua. “... seperti dahulu Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau”, firman Allah kepada Yosua (Yosua 3:7). 
Kini Ia menyatakan hal itu dengan cara yang dramatis.
Kedua peristiwa mujizat tersebut bahkan dinyatakan dalam beberapa kalimat yang mirip. Yosua 3:13 dan 3:16 berbicara mengenai air yang “melonjak menjadi bendungan.” Nyanyian syukur Musa, dalam Keluaran 15, menyatakan dengan puitis bahwa “segala aliran berdiri tegak seperti bendungan” (ayat 8). Allah juga meminta Yosua memerintahkan para imam untuk “tetap berdiri di sungai Yordan itu.” (Yosua 3:8). 
Di ujung laut Teberau, Musa berkata kepada umat, “Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN” (Keluaran 14:13). Pengulangan-pengulangan ini menunjukkan keselarasan yang dinyatakan oleh kitab Yosua dengan jelas: “... sebab TUHAN, Allahmu, telah mengeringkan di depan kamu air sungai Yordan, sampai kamu dapat menyeberang seperti yang telah dilakukan TUHAN, Allahmu, dengan Laut Teberau, yang telah dikeringkan-Nya di depan kita, sampai kita dapat menyeberang” (Yosua 4:23).
Bagi kita, peristiwa terbelahnya Laut Teberau adalah sejarah kuno, tapi tidak bagi mereka yang menyaksikan terbelahnya sungai Yordan. 
 Yosua, Kaleb dan semua orang yang sudah tua hadir pada peristiwa Laut Teberau, karena mereka yang berusia di bawah 20 tahun pada masa terjadinya peristiwa itu masih hidup. Karena itu sesungguhnya mereka diingatkan lagi akan sebuah peristiwa dalam sejarah pribadi mereka. Kita dapat membayangkan saat umat Israel sedang menempuh perjalanan menyeberangi sungai Yordan, kaum yang tua mengingat kembali perisitwa laut Teberau, dan kaum yang muda mengingat kembali kisah tentang peristiwa mengagumkan itu yang mereka dengar berulang kali dari orang tua mereka. Yosua dan Kaleb, khususnya, pasti akan mengingatnya.  
Menyadari bahwa Allah secara tiba-tiba memberikan tanda yang sama ketika mereka akan memasuki tanah perjanjian—sebuah lambang kesinambungan otoritas dan kuasa Allah—pastilah membuat mereka terkesima, kagum, dan menjadi semakin yakin.
Pada akhir hidupnya, Yosua mengingatkan umatnya akan semua yang telah terjadi pada masa Musa: “maka diadakan-Nya gelap antara kamu dan orang Mesir itu dan didatangkan-Nya air laut atas mereka, sehingga mereka diliputi. Dan matamu sendiri telah melihat, apa yang Kulakukan terhadap Mesir ... (Allah) yang telah melakukan tanda-tanda mujizat yang besar ini di depan mata kita sendiri” (Yosua 24:7, 17). 
Ia meminta semua orang tua, laki-laki dan perempuan, untuk mengingat sebuah sejarah yang tidak hanya sekadar catatan masa lalu (seperti halnya bagi kita), namun yang adalah sebuah pengalaman pribadi.
Yosua sendiri telah menyaksikan kuasa ini dimanifestasikan di dalam pertempuran melawan kaum Amalek. Ketika Musa berdiri dengan tangannya terangkat, bangsa Israel menang. Allah dengan jelas mengajarkan Yosua sesuatu untuk diingat seumur hidupnya: “Kuasa itu ada di tangan-Ku! Kuasa itu adalah milik-Ku!” 
Selagi bangsa Israel menyeberangi sungai Yordan, Yosua langsung tahu bahwa kuasa itu tetap ada dan tidak akan berubah sepanjang masa. 
Kuasa itu berasal dari Allah semata. Inilah kuasa yang sama yang disaksikan dalam seluruh isi Alkitab, dan kuasa-Nya tidaklah berkurang pada masa hidup kita kini. 
Inilah kuasa yang sama: dahulu, kini, dan di masa datang.

TIGA FAKTOR YANG T1DAK PERNAH BERUBAH:

PIMPINAN SUPRANATURAL
Faktor ketika yang tidak pernah berubah adalah kesinambungan seorang Pribadi (baca Yosua 5:13-15; 6:2).
Kuasa yang berlanjut pada masa Yosua bukanlah kuasa yang tidak berpribadi atau magis. Kuasa itu berkaitan dengan seorang Pribadi— seorang Pribadi yang juga memiliki kesinambungan dalam sejarah.
Kesinambungan dari pimpinan supranatural dinyatakan dengan jelas pada peristiwa dekat Yerikho. Di sini Pribadi yang berhadapan dengan Yosua berkata, “akulah Panglima Balatentara TUHAN. Sekarang aku datang.” Hal ini menunjukkan bahwa sebelumnya Ia telah hadir dalam kapasitas yang berbeda. Yosua pernah bertemu dan mengenal Pribadi ini di masa lalu, namun kini Ia datang dalam kapasitas yang spesifik, sebagai Panglima Balatentara TUHAN.
Ini juga menyerupai pengalaman Musa. 
Musa sedang ada di padang gurun ketika ia menerima panggilan khususnya dari semak duri yang terbakar.  
Seketika itu juga ia berhadapan dengan seorang Pribadi “AKULAH AKU” yang agung yang berkata kepadanya, “Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.” (Keluaran 3:5). 
Panglima Balatentara Tuhan pun memberikan perintah yang sama kepada Yosua (Yosua 5:15). Yosua, dipenuhi oleh emosi, mungkin saja dengan segera melepas kasutnya. 
Ia sadar dirinya ada di tempat Musa sekarang.
Ketika Allah berbicara kepada Musa dari semak duri yang terbakar, Ia terus menerus berbicara tentang hal-hal masa lalu. 
Melihat terang Firman Tuhan yang sangat jelas, saya tidak pernah dapat mengerti bagaimana para teolog liberal bersikukuh menyatakan bahwa Tuhan ini adalah Allah yang baru bagi bangsa Israel. Pendapat ini tidak masuk akal, karena dalam Keluaran 3:6 kita membaca, “Ia berfirman: “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.” 
lalu Musa menutupi mukanya”. Musa menutupi mukanya di hadapan Allah yang sama yang telah menampakkan diri kepada Abraham lima ratus tahun sebelumnya. Dalam Keluaran 3:15 Tuhan menekankan kembali, “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu.” 
Jadi disini terdapat penekanan yang kuat dari Allah: “Aku bukanlah Tuhan yang baru; terdapat kesinambungan dalam pribadi-Ku dan dalam kepemimpinan-Ku.” Ayat 16 juga berbicara tentang “TUHAN, Allah nenek moyangmu.” 
Ketika Allah mengubah tongkat Musa menjadi ular, ini adalah sebuah tanda bagi Firaun. Inilah tanda kepada umat Allah bahwa Allah hendak menyatakan tujuan-Nya di antara mereka. Apakah tujuan itu? “... supaya mereka (umat Israel) percaya, bahwa TUHAN, Allah nenek moyang mereka, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub telah menampakkan diri kepadamu.” (Keluaran 4:5).
Tanda ini menjadi bukti bagi umat bahwa terdapat kesinambungan akan kepemimpinan supranatural, di masa Abraham dan sebelumnya.
Pada masa akhir hidupnya, di atas dataran Moab, Musa berbicara mengenal kesinambungan ini (baca Ulangan 31 :2-8). 
Kita menjumpai kesinambungan ganda disini. 
Musa berkata kepada umatnya, “Jangan takut. Allah yang sama yang mengalahkan Sihon dan Og akan mengalahkan bangsa yang ada di seberang sungai ini.” 
Kemudian, berpaling kepada Yosua, ia berseru, “Allah yang sama yang selama ini beserta denganku akan berjalan di depanmu, Yosua! Jangan takut!” Yosua telah menyaksikan pimpinan Tuhan melalui tiang awan dan tiang api. 
Ia juga ada di dalam kemah suci ketika Allah berbicara kepada Musa. 
Jadi ia telah mengenal Pribadi yang menjumpainya di dekat kota Yerikho itu. Sambil memandang ke belakang sungai Yordan, Yosua ingat segala keajaiban yang ia saksikan selama ini bawah kepemimpinan supranatural yang sama.
Saat Yosua pertama kali melihat Panglima Balatentara Tuhan, ia bersikap seperti layaknya seorang pria. 
Dengan pedang di tangan, Yosua segera menantang-Nya. Ketika Pribadi tersebut berbicara kepada Yosua, Yosua segera mengenali siapakah Dia itu, dan juga dalam memorinya mengingat segala peristiwa yang tadi saya sebutkan, dan banyak hal lain yang tentunya tidak tercatat. 
Pastilah ini suatu peristiwa yang memukau bagi Yosua saat ia mengambil alih tongkat kepemimpinan atas umat Allah. 
Kini semua ini lebih dari sekedar memori, ini adalah kenyataan sejarah yang sungguh terjadi. 
 Saat ini dan disini, terdapat Pemimpin supranatural yang sama, Pribadi yang sama. Musa telah meninggal, namun Pemimpin sejati akan tetap maju. 
Karena Pribadi ini telah berkata kepada Yosua, “Aku serahkan ke tanganmu Yerikho” (Yosua 6:2) dan karena Yosua meyakini ketepatan janji Pribadi ini, ia mampu berdiri di antara umatnya dan tembok Yerikho dan berkata tanpa gentar, “Bersoraklah, sebab TUHAN telah menyerahkan kota ini kepadamu!” (Yosua 6:16). 
Mengapa? Karena kuasa itu bersifat pribadi, dan Pribadi itu ada di sana saat itu.

TIGA FAKTOR YANG T1DAK PERNAH BERUBAH:

MASA KINI

Saat melintas dari masa penyusunan Pentateukh kepada masa setelahnya, Yosua telah mengenal kitab yang tertulis, kuasa supranatural dan Pemimpin supranatural yaitu Allah yang hidup. 
Kita tidak hidup pada masa yang sama dengan Yosua, namun Perjanjian Baru menyatakan bahwa ketiga faktor yang tidak pernah berubah ini tetap berlaku bagi anak-anak Tuhan masa kini.  
Kesinambungan ini mengalir dari kitab Taurat hingga sepanjang masa Perjanjian Lama, masuk ke masa Perjanjian Baru, lalu terus sampai kepada kita.
Dengar kata Paulus, “Jika seorang menganggap dirinya nabi atau orang yang mendapat karunia rohani, ia harus sadar, bahwa apa yang kukatakan kepadamu adalah perintah Tuhan.” (1Korintus 14:37). 
Kedengarannya tidak asing bukan? Tentu saja. Hal inilah yang dikatakan pula oleh Musa. Jika seseorang datang kepada kita, bagaimana kita harus menilai perkataannya? Nilailah, kata Paulus, dengan dasar Firman Allah yang tertulis. Tidak ada perbedaan sedikit pun didalam standar yang obyektif. 
Kita memiliki kesamaan dalam kemungkinan akan obyektifitas, namun yang kini terdapat dalam kitab yang sudah diperluas.  
Kesinambungan yang Yosua miliki bagi masanya kini kita miliki bagi kebutuhan masa kita sendiri.
Paulus menuliskan hal yang serupa dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika: “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2Tesalonika 2:15). Di sini kita kembali menemukan kesejajaran dengan Musa.
Mungkin pernyataan paling jelas dalam Perjanjian Baru mengenai kesinambungan otoritas dituliskan oleh Petrus. 
Ia mengingatkan pembacanya bahwa ia hadir pada peristiwa Yesus dimuliakan di atas gunung. Sungguh merupakan suatu kepastian yang agung—mendengar langsung suara dari Surga dan menyaksikan Yesus dimuliakan! 
Walaupun demikian, Petrus berkata, Ya benar, tapi itu adalah pengalaman pribadi saya; dan kalian tidak memiliki pengalaman itu karena kalian tidak ada di sana. Tapi ada hal yang lebih agung yang kita miliki bersama.” 
Memakai kata-kata dari suratnya sendiri, “Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. 
Alangkah baiknya kalau kamu memerhatikannya sama seperti memerhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu. 
Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” (2Petrus 1:19-21), Petrus menyatakan hal yang sama dengan Paulus. Kita memiliki pewahyuan yang tertulis; dengan itu kita dapat menilai segala sesuatu dan otoritasnya final.
Petrus juga menyelaraskan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru:
“supaya kamu mengingat akan perkataan yang dahulu telah diucapkan oleh nabi-nabi kudus dan mengingat akan perintah Tuhan dan Juruselamat yang telah disampaikan oleh rasul-rasulmu kepadamu.” (2Petrus 3:2). 
Secara spesifk ia memasukkan tulisan Paulus sebagai otoritas yang berkesinambungan: “Anggaplah kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. 
 Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. 
Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar dipahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain.” (2Petrus 3:15-16).
Kita pada masa kini memiliki faktor pertama dari tiga faktor yang tidak pernah berubah—suatu otoritas yang tertulis, obyektif dan jelas. 
Apa yang difirmankan Allah kepada Israel, “Segala yang kuperintahkan kepadamu haruslah kamu lakukan dengan setia, janganlah engkau menambahinya ataupun menguranginya.” (Yosua 12:32), Yohanes tegaskan ulang di bagian akhir Alkitab, dalam kitab Wahyu, “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: “Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang; tertulis di dalam kitab ini. 
Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.” (Wahyu 22:18-19).
Sepertinya Allah ingin bertanya, Bagaimana kamu bila melewatkan hal ini? Ada kesinambungan akan otoritas obyektif dari Kitab yang tertulis mulai dari kitab Taurat hingga Perjanjian Baru.”
Menyangkut hal faktor kedua yang tidak pernah berubah, perhatikan sebuah pernyataan yang keluar dari mulut Yesus setelah Ia bangkit:
“Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” (Matius 28:18). Yesus mengklaim bahwa kuasa, yang sama dengan yang ditunjukkan pada masa Musa dan Yosua, kini diberikan kepada-Nya. Yesus menghubungkan pernyataan ini dengan kedatangan kuasa Roh Kudus:
“Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kisah Para Rasul 1:8). 
Seperti halnya Allah berkata kepada Yosua, “Ingatkah akan kuasa-Ku? Laut Teberau dan sungai Yordan terbelah dua!”, Yesus menyatakan kepada murid-murid-Nya, “Jangan takut, karena seluruh angkatan ini akan menerima kuasa dari Roh Kudus yang menetap.”
Kuasa yang membelah laut Teberau dan sungai Yordan masih terus sama tersedia bagi setiap umat Allah di masa lalu, kini dan masa yang akan datang.
Kesinambungan dari faktor ketiga yang tidak pernah berubah, Pemimpin supranatural, datang kepada kita dengan suatu penekanan khusus. Dalam 1Korintus l0:4, Paulus membicarakan suatu peristiwa di mana Musa memukul batu karang: “... dan mereka (para nenek moyang kita) semua minum-minuman rohani yang sama, sebab mereka minum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan batu karang itu ialah Kristus.” (1Korintus 10:4) Pribadi yang ada di padang gurun dan Pribadi yang berdiri di hadapan Yosua dan berkata, “akulah Panglima Balatentara TUHAN. Sekarang aku datang.” adalah Pribadi yang sama yang kita kenal melalui inkarnasi-Nya, Yesus Kristus.
Pribadi ini berbicara mengenal kesinambungan kepemimpinan-Nya ketika Ia menyatakan kepada pengikut-Nya, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:20). Pribadi yang beserta dengan Musa di tempat batu karang dan bersama Yosua pada masa awal perlawanan merebut Yerikho telah berjanji, “Hingga waktunya Aku datang kembali, Aku akan selalu bersamamu.” 
Adalah hal yang indah bahwa Pemimpin yang sama itu ada beserta dengan kita. Apakah Panglima Balatentara yang mendahului Yosua dalam peperangan itu adalah seorang manusia biasa? 
Bukan. Haruskah kita bergumul pada masa kini dengan menggunakan hikmat kita sendiri dan kekuatan kita yang lemah? 
Tidak, sebab kuasa-Nya tersedia. 
Pemimpin yang sama telah hadir dan Pemimpin yang sama itupun akan memimpin kita.
Ketika Yosua memandang Pemimpin ini, “sujudlah Yosua dengan mukanya ke tanah, menyembah dan berkata kepadanya: “Apakah yang akan dikatakan tuanku kepada hambanya ini?” 
Dan Panglima Balatentara TUHAN itu berkata kepada Yosua: “Tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat engkau berdiri itu kudus.” 
Maukah kita mengenal kuasa dari Pemimpin yang hadir itu? Marilah kita menanggalkan kasut kita! 
Janganlah kita lupa pada perkataan Paulus: “Aku adalah budak dari Yesus Kristus.” 
Jika kasut tidak kita tanggalkan dihadapan Pemimpin kita ini, kita tidak akan mengenal kuasa-Nya. 
Tapi saat kita melepaskan kasut kita, kita akan mengalami kesinambungan kuasa Allah dan kepemimpinan-Nya itu. 
Karena Pribadi pada semak belukar yang terbakar, Allah Abraham, Ishak dan Yakub, Panglima Balatentara TUHAN, Yesus Kristus—Pribadi ini masih beserta dengan kita.
Tiap-tiap faktor agung yang tidak pernah berubah ini, yang berdiri teguh pada masa-masa krusial seperti pada masa Yosua yang adalah transisi dari masa penyusunan Taurat kepada masa sesudahnya, akan terus berlanjut tanpa terputus. 
Akan ada perubahan-perubahan dalam sejarah, namun ketiga faktor ini akan terus ada dan tidak akan berubah. 
Kita dalam perjuangan di abad ini masih memiliki kitab yang sama, kuasa yang sama dan Pemimpin yang sama.

Sumber diambil dari:
Judul buku : Our Heritage: Keunikan dan Kekayaan Pelayanan Mahasiswa
(Sebuah Bunga Rampai)
Judul artikel: Tiga Faktor yang Tidak Pernah Berubah (The Three
Changeless Factors; Joshua and The Flow of Biblical History)
Penulis : Francis A. Schaeffer, Illinois, IVP 1975
Penerbit : Perkantas, 2006
Halaman : 54 -- 66